Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak batu
adalah harta harapan
Tanah papua tanah leluhur
Disana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku di besarkan
Hitam kulit keriting rambut aku papua
Hitam kulit keriting rambut aku papua
Biar nanti langit terbelah aku papua
dst..
Penggalan lirik lagu Aku Papua yang diciptakan oleh mendiang Franky Sahilatua dkk dan dinyanyikan oleh Edo Kondologit diatas menjadi musik pengiring tatkala saya membuka kembali lembar demi lembar kenangan di Tanah Papua. Mengharu biru suasana kebatinan yang coba saya hadirkan seolah saya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya Papua, meski baru ketiga kalinya saya menginjakkan kaki disana. Pesona alam dan eksotika budaya Papua nyata tidak sekedar mengundang decak kagum insan yang berkunjung kesana. Tidak sedikit orang terkesima hingga jatuh hati dengan budaya Papua yang luar biasa.
Dan saya pun selalu terkenang dengan tanah Papua. Pertengahan Juli 2015 lalu untuk yang ketiga kalinya saya berkesempatan mengunjungi Papua Barat, tepatnya di Kota Sorong. Sebuah kesempatan yang luar biasa ketika saya diminta menjadi narasumber pengganti pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh ormas kemahasiswaan se-wilayah Propinsi Papua Barat. Kunjungan tersebut terkesan sedikit formal mengingat Narasumber lain yang hadir adalah salah satu pejabat Deputi di Kementrian Dalam Negeri. Sebelum Acara dimulai, saya beserta rombongan disambut tarian etnik yang ritmenya dinamik. Gerakan yang energik dan penuh semangat seolah membawa suasana pagi yang penuh semangat. Gerakan dalam tari tradisional Papua memiliki ciri yang unik. Mulai dari kostum yang digunakan, iringan musik hingga gerakan yang membuat kita akan tergerak penuh semangat.
[caption caption="dok.pri tari yospan (yosim pancar)"][/caption]
Adalah Tari Yospan, nama tarian yang disebut oleh salah satu penari sekaligus panitia acara dari daerah Kaimana, Dessy Adelia. Darinyalah saya mendapat sedikit cerita tentang tarian ini. Tari Yospan singkatan dari Yosim Pancar. Merupakan perpaduan dari dua tarian yakni tari Yosim dan Pancar. Tari ini merupakan salah satu tarian yang ditujukan untuk menyambut tamu. Tarian ini juga memiliki pesan persahabatan sehingga diharapkan para tamu yang datang bisa menjadi sahabat bagi orang Papua. Tarian Yospan yang menyambut waktu itu dibawakan oleh 10 orang penari yang terdiri dari 6 penari laki-laki dan 4 penari perempuan. Gerakan masing-masing penari terlihat lincah. Sesekali penari laki-laki memainan gerakan melompat dan menyerupai salto.
[caption caption="dok.pri berpose bersama penari yospan : dessy dkk"][/caption]
Setelah tari Yospan berakhir, salah satu Panitia menaruh piring ukuran besar di pelataran. satu persatu tamu menjalani proses Injak Piring. Awalnya saya tidak begitu paham atas makna Injak Piring. Saya hanya mencoba mengutip peribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Untuk menghormati sekaligus menjadi bagian yang tidak dipisahkan maka saya pun mendapat giliran dengan menapakkan kaki kanan dalam piring keramik.
[caption caption="dok.pri prosesi injak piring"][/caption]Setelah selesai prosesi injak piring, lagi lagi saya mencoba meminta keterangan tentang makna yang terkandung dari prosesi yang baru saja saya jalani. Dari salah satu Panitia saya mendapat sedikit cerita bahwa jenis prosesi yang tadi saya jalani merupakan injak piring tutup pintu. ini merupakan rangkaian tradisi adat budaya dalam menyambut tamu. Bilamana tamu sudah menginjak piring, maka artinya tamu akan diterima dalam ikatan persaudaraan. Ada sebagian masyarakat yang mempercayai bahwa dengan menginjak piring juga dapat mencegah masuknya unsur-unsur ketidakbaikan yang akan dibawa oleh tamu dari luar Papua ke dalam masyarakat Papua. Bahkan esktrimnya lagi ada cerita bahwa ketika tamu yang datang berniat jahat maka piring yang diinjak akan pecah. Beruntung niat baik saya datang ke Papua membuat piring yang saya injak tetap utuh terjaga.
Selesainya rangkaian acara formal hari pertama di tanah Papua, memberi kesempatan bagi saya untuk melihat lebih dekat budaya masyarakat disana. Apalagi kalau bukan makanan khas atau kuliner tradisional Papua, yakni Papeda. Warung sederhana itu terletak di samping terminal pasar bersama itu diberi nama oleh pemiliknya dengan nama Warung Cahaya. Siang menjelang sore waktu itu dan Kota Sorong diguyur hujan. Hangat pemilik warung menyambut rombongan yang ingin menikmati makanan khas Papua, Papeda Kuah Ikan Kuning.
Tak berapa lama, di hadapan saya terhidang papeda (bubur sagu) dalam mangkuk, Ikan yang dimasak kuah kuning, tumis bunga pepaya dan sambal. ada juga Kasbi dan Betetas (Singkong dan Ubi) rebus. Agak sedikit bingung saya memulai mengambil menu. Namun, adalah Herdy, putra Papua yang didaulat menjadi Ketua Panitia ini kemudian dengan baik hati mengajari dan menjelaskan tentang bagaimana cara menyantap Papeda.
[caption caption="dok.pri : Bale-bale Papeda, cara menikmati papeda"][/caption]
Pelan-pelan saya pun mencoba Bale-Bale papeda dengan menggunakan dua sumpit yang dipegang terpisah masing-masing di tangan kanan dan kiri. Ya bale-bale adalah cara untuk mengambil papeda dari mangkuk saji ke piring dengan cara diputar-putar hingga menempel di kedua sisi sumpit. Papeda terbuat dari sagu yang murni diproses dari batang sagu. Terasa lembut di mulut. Jangan kaget ketika mencicip Papeda tanpa tambahan lauk lain. Papeda berasa tawar, Namun ketika sudah diguyur Ikan kuah kuning dan disantap berbarengan, yang ada hanyalah kenikmatan tiada tara. Selain Papeda dengan Ikan kuah kuning. Pemilik warung juga menyajikan kasbi dan Betatas rebus istilah Papua untuk menyebut Ubi dan Singkong rebus. Luar biasa bukan budaya kuliner Papua?
Setelah kenyang menyantap papeda, hujanpun reda saya diajak berkeliling kota Sorong. Sebagian dari mereka meminta membeli pinang sirih. Inilah bentuk budaya pergaulan antar warga di Papua. Mengunyah pinang sirih. Membuat bibir menjadi merah dan meludah air sirih agar tidak tertelan. Sebagian warga menjadikan kebiasaan mengunyah pinang sirih sebagai sebuah jalinan keakraban. Tua-muda, laki-laki - perempuan menikmati budaya mengunyah pinang -sirih. Pinang-sirih yang dikunyangpun benar-benar berasal dari buah pinang segar dan bunga sirih yang memanjang (bukan yang berbentuk daun). Ada tambahan bubuk kapur, sehingga air ludah yang dihasilkan berwarna merah. Bagi sebagian pendatang, mengunyah pinang sirih menjadi tanda keakraban, kebersamaan dan persaudaraan. itulah kenapa ada yang menyebut mengunyah pinang sirih di Papua merupakan bagian dari bahasa pergaulan. Tidaklah mengherankan jika di sebagian tepian jalan kota Sorong banyak dijual pinang -sirih. Saya pun tidak ketinggalan untuk mencoba dan belajar mengunyah pinang sirih ini dari mama Papua yang menjualnya.
[caption caption="dok.pri membeli pinang sirih di Kota Sorong"][/caption]
[caption caption="dok,pri mengunyah pinang sirih"][/caption]
Rasanya tidaklah lengkap berkunjung ke Papua tanpa membawa cendera mata yang khas dari sana. Pilihan itu jatuh pada Noken. Tas tradisional Papua yang terbuat dari rajutan serat kulit pohon. Untuk lebih menarik pembeli dari luar Papua, masayarakat membuat Noken yang berwarna warni sehingga terlihat lebih menarik. Tersedia aneka ukuran sesuai kebutuhan dari Noken kecil hingga noken besar. Secara tradisional, masyarakat Papua menggunakan Noken tidak dengan di jinjing atau diselempangkan di pundak. Melainkan di selipkan di tenah kepala sehingga menggantung ke belakang. Bisa dibayangkan bukan, betapa kuatnya kepala menyangga beban berat isi noken yang dikenakan masyarakat Papua. Noken ini sengaja saya cari di pasar tradisional. Di Pasar Remu yang letaknya di Kota sorong itulah, saya bisa mendapatkan pernak pernik kerajinan yang dibuat oleh warga Papua.
Ada yang menarik dari Noken ini. Selain eksotis bentuknya. Noken ini sempat menjadi sarana demokrasi lokal melalui pemilihan sistem noken. Inilah menariknya Budaya kita. Tidak hanya memiliki nilai ekonomi semata, namun tidak dinyana sistem noken ini menjadi bagian dari kearifan lokal khususnya dalam budaya politik di masyarakat Papua. Bahkan berdasarkan sumber penelususran di wikipedia, ternyata pada tahun 2012, Noken didaftarkan ke UNESCO sebagai salah satu karya tradisional dan warisan budaya dunia.
Wahh, tak cukup sehari dua hari, seminggu dua minggu untuk bisa benar-benar berada di tengah budaya Papua. Apa yang saya nikmati selama 10 hari berada di Papua hanyalah sebagian kecil dari budaya Papua lainnya. Tari Yospan, tradisi Injak Piring, bale-bale papeda, kunyah pinang sirih hingga mengenakan noken menjadi pengalaman budaya luar biasa. Tentunya masih belum apa-apa jika dibandingnya Pesona Indonesia yang ada seluruhnya.
Kesempatan luar biasa ini tentunya akan lebih lengkap rasanya bila bisa diikuti dengan pengalaman budaya dari beberapa daerah lain di nusantara, sehingga menjadi lengkap adanya. Indonesia memang luar biasa...Sayonara Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar