Tinnnn...tinnnn...
suara klakson mengagetkan lelaki
berusia senja yang tengah berjalan menyusuri jalan utama komplek perumahan elit
di bilangan Jakarta Selatan.
Dari balik kemudi, Ramadan
menghela nafas sembari berucap lirih,
"Hampir saja".
Ya, mobil berwarna metalik itu nyaris menyerempet seorang kakek yang tengah
berjalan. Setengah kaget dia menginjak rem dan membunyikan klakson. Selepas
sang kakek menepi, Ramadan langsung tancap gas menuju rumah Kirani, kekasih
hatinya. Dia tak ingin terlambat memenuhi undangan buka puasa di rumah
perempuan yang dipacarinya sejak 7 lebaran lalu.
Sementara Sang Kakek, hanya bisa
memandang mobil yang nyaris membuatnya celaka bergerak menjauhinya. Dia datang
dari pelosok Bogor. Sebuah desa di kaki gunung Salak. Sudah 1 bulan
lelaki yang tak lagi muda itu seperti tengah mengembara di Jakarta.
Sehari-hari lelaki yang selalu
mengenakan sarung yang
dililitkan di leher hingga menutupi sebagian dada dan bahunya. Ia mencari pekerjaan apa saja sebagai cara
bertahan hidup di ibukota dalam rangka mencari saudaranya. Menjadi kuli panggul
di beberapa pasar induk pernah ia lakoni. Sesekali menjadi kuli serabutan.
Apapun dia jalani selama yakin bergelora dalam hati.
Meski
terbilang berusia senja, nyatanya lelaki yang kerap dipanggil Wak Kamal itu
secara fisik cukup kuat. Ia mampu berjalan kaki menempuh jarak puluhan kilometer.
Sesekali jika Wak Kamal merasa capek, ia akan mencari masjid atau musholla
untuk sekedar berteduh sembari menjalankan kewajiban kepada Tuhan semesta alam..
Hanya itu Yang membuat Wak Kamal senantiasa yakin, bahwa tujuannya ke Jakarta untuk
mencari adik semata wayangnya akan berhasil.
Kamal dan Kamil, dua bersaudara
yang terpisah puluhan tahun lamanya. Lima tahun lalu, Kamil sempat pulang
ke desa kelahiran mereka, membawa serta anak dan istrinya. Namun sayang Kamal
tengah merantau di Kalimantan. Dua bersaudara itupun tak bertemu. Hanya dari
omongan para tetangga yang menyebut bahwa Kamil telah sukses di Ibukota dan
sempat datang ke rumah masa kecil mereka itulah yang Kamal dengar selepas dia
pulang dari rantau tiga bulan lalu.
Tekad bulat Wak Kamal pun muncul
manakala ia mengingat satu peristiwa yang membuat Kamil pergi ke Jakarta,
meninggalkan desa mereka tanpa dinyana sebelumnya. Darah muda membuat mereka
tak sekedar berebut kembang desa. Sepotong sarung nyatanya mereka perebutkan
pula. Sungguh menyesal Kamal memenangkan perebutan sarung yang hanya
menjadikannya juara sesaat. Nyata ia harus menanggung kerinduan akibat
kepergian saudaranya yang tampak begitu kecewa.
Sarung..., Ya hanya karena sebuah
sarung, Kamal merasa bersalah terhadap Kamil. Karena sarung itu pulalah, Kamal
sedikit nekat mencari Kamil tanpa alamat yang pasti.
"Kira-kira dimana Kamil dan
keluarganya tinggal ya Jum?" Tanya Wak Kamal pada Jumarni pemilik warung
kopi yang sempat disinggahi Kamil saat bertandang kembali ke desanya.
"Waduh Wak, saya lupa tanya,
tapi saya dengar dari obrolan dengan kang Somad,kalo tidak salah di
Jakarta Selatan Ceu nah"
logat medok Jumarni sedikit membuat lega Wak Kamal. Setidaknya ada noktah meski
samar yang bisa menjadi petunjuk dimana Kamil berada.
Wak Kamal pun lantas pergi ke
Jakarta. Beruntung, dia ditolong mahasiswa sewaktu berada di stasiun Bogor.
Sehingga perjalanan Bogor-Jakarta, di stasiun pemberhentian terakhir Jakarta
Kota pun dapat dengan mudah dilaluinya.
Apa daya, Wak Kamal buta wilayah
Jakarta. Seminggu berada di Jakarta Kota, berkeliling mencari komplek rumah
elit seperti yang dibicarakan tetangga bahwa Kamil tinggal di rumah gedong,
nihil hasilnya.
Kamal tak putus asa. Dia selalu
bertanya kesabaran kemari cara untuk menuju ke Jakarta Selatan. Selama bekal
uang masih ada, Kamal tidak ragu untuk meminta tolong pada supir bajaj, atau
supir mikrolet perihal tujuannya ke kompelk perumahan elit untuk mencari
adiknya.
Namun apa hendak dikata. Jakarta
dengan segala cerita membuat Kamal sedikit terlunta-lunta. Hanya sarung yang
semakin Kumal saja yang membuat semangatnya tetap membara untuk terus mencari
adiknya.
Situasi semakin sulit bagi Wak
Kamal saat tiba-tiba banyak orang menutup mulut dan hidungnya dengan sejenis
kain. Saat Wak Kamal menjadi kuli serabutan di pasar Palmerah, baru Wak Kamal
tahu bahwa sekarang sedang musim virus Kirinya yang banyak membuat orang
menggunakan masker.
Pencarian Wak Kamal untuk
menemukan Kamil adiknya terus berjalan. Hingga hampir sebulan lamanya. Tiba
saat puasa, dan hati Wak Kamal yakin, bahwa sebentar lagi ia akan bertemu
Kamil. Dari kawasan pasar Palmerah Wak Kamil mendapat informasi dari supir
mikrolet bahwa ada komplek perumahan elit di Jakarta Selatan yang cukup
terkenal. Wak Kamal pun girang. Ia tak ragu membayar lebih supir mikrolet yang
mengeluh sepi penumpang akibat virus korona.
Sampailah Wak Kamal di Pasar
Kebayoran lama. Dari pasar Kebayoran lama itulah, langkah kaki Wak Kamal
seperti dituntun menuju ke kawasan elit yang dimaksud. Hingga sore menjelang,
ia tengah clingak cliguk memandang bangunan menjualnya di sekeliling rumah luas
dengan pagar besi berukuran tinggi.
Klakson mobil tadi membuat Wak
Kamal sejenak menepi. Mengusap sarung kumalnya. Memanggil nama adiknya
"Kamil...Kamil..Kamil
7x" seraya merapal doa dengan segenap keyakinan.
Di bulan Ramadan, apalagi pada 10
hari terakhir, banyak doa konon diijabah. Apalagi doa penuh kebaikan seperti
yang dilantunkan oleh seorang Kamal yang ingin bertemu Kamil, adik semata
wayang yang telah terpisah puluhan tahun lamanya.
Wak Kamal kembali melanjutkan
langkahnya. Ia bermaksud mencari masjid atau musholla.Sebentar Maghrib tiba.
Tak lama dia berjalan, di sebuah perempatan tampak mobil yang tadi hendak
menyerempetnya terparkir. Sedikit ramai suasana di depan rumah mewah itu. Kamal
sedikit ragu untuk mendekat. Namun, beberapa supir ojek melambaikan tangan
seolah memberi kode agar Kamal mendekat.
Benar saja, pemilik rumah sedang
membagi makanan dan minuman untuk berbuka. Wajah Kamal sedikit sumringah.
Rejeki untuk berbuka, "Alhamdulillah", ujarnya.
Namun kaget bukan kepalang saat
sosok laki-laki gagah mengulurkan sekotak makanan dan botol minuman. Tangannya
nyaris meleset menerima uluran dari pemilik rumah. Mata Kamal menyergir,
mengamati lekuk wajah yang masih ia ingat.
"Kamil....kamu teh Kamil
kan?" Suara Kamal bergetar, air matanya nyaris tumpah ...ingin ia memeluk
laki-laki yang diyakininya sebagai Kamil.
Tak kalah kaget, si pemilik nama
langsung mengenali siapa yang ada di depannya,
"Itu sarung, masih ada
kang Kamal ??" Tuding Kamil menunjuk sarung Kumal yang menjuntai di badan
Kamal.
Mereka pun berpelukan, dua
bersaudara akhirnya dipertemukan Tuhan saat Ramadan, berkat semangat dari
sarung Kumal.
Kumandang suara adzan tanda
berbuka puasa seolah menjadi back song sepenggal episode drama kehidupan.
Bertemu kembalinya dua bersaudara yang berpisah karena rebutan sarung. Namun
akhirnya kembali bertemu karena sarung yang telah kumal itu pula .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar