Rembang
petang datang. Suara jangkrik dan hewan lain penghuni pekarangan kosong yang
ditumbuhi aneka tanaman liar telah memperdengarkan aneka bunyi-bunyian. Suara
itulah yang menjadi pengantar malam
datang. Gerumbul pedukuhan Sukomoro tak jauh dari lereng Gunung Lawu itu hanya dihuni oleh beberapa kepala
keluarga. Jarak rumah saling berjauhan satu sama lain. Terbelah oleh jalan
beraspal yang menghubungkan pusat keramaian dengan beberapa desa yang membawahi pedukuhan.
“Lusa kita pindah, sudah
menjadi keputusan perusahaan siang
tadi”, kalimat itu terdengar datar. Pun tak ada respon seperti yang diharapkan.
Laki-laki
berperawakan gemuk yang tengah duduk di atas dipan kayu itu tampak meraih kruk
(tongkat ketiak) yang disandarkan ke salah satu sisi dinding. Terlihat payah ia
berusaha menggerakkan badannya agar kedua tongkat penyangga yang membantunya
berjalan bias diraih dengan sempurna. Sementara, perempuan berambut sebahu
tampak sibuk melipat baju yang baru saja diangkatnya dari tali jemuran.
Perempuan
itu menghela nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya begitu saja. Sebuah kebiasaan yang dirasa mampu mendatangkan
kelegaan dalam dada. Sejak Karyo, laki-laki yang dinikahinya mengalami
kecelakaan kerja, sebagai istri dia harus mengikuti kemanapun Karyo pergi untuk
bekerja. Padahal sebelumnya, ada sekian jarak membentang. Masing-masing berdiam
di kota yang berbeda. Sesekali bertemu di titik tengah, berpindah, hingga
melewatkan sekian perjalanan singgah dan menikmati suasana dari satu kota ke
kota lain.
“kemana kita pindah?” Akhirnya
pertanyaan itu terlontar
“Prigi” Jawab Karyo singkat
Ini
bukan kali pertama, kedua, bahkan ketiga mereka pindah. Tak hanya ransel dan
koper yang harus disiapkan untuk membawa semua yang ada. Beberapa kardus besar,
kantong plastis hitam berukuran jumbo pun disiapkan untuk membungkus beberapa
perkakas yang hendak mereka bawa serta. Ada hal yang jauh lebih penting dari
semua itu.. menyiapkan mental, spiritual dan pundi-pundi berisi benih kebaikan yang harus senantiasa
disemaikan di lingkungan yang baru tentu sangat dinanti. Belum lagi adaptasi
dengan lingkungan sekitar. Sungguh akan menjadi
kejutan tersendiri setelah
menempuh sekian jam perjalanan.
Hari
begitu cepat berlalu. Barang-barang terkemas rapi. Sebuah kendaraan bak terbuka
terparkir sedari pagi. Terpal penutup berwarna biru dengan tali tambang yang
terlihat kuat, siap dihamparkan agar menutup hampir semua permukaan. Sekaligus
berjaga-jaga ketika hujan datang tiba-tiba di tengah perjalanan.
Matahari
tengah memancarkan sinar keemasan yang kaya akan vitamin D alami yang tak bias begitu saja tersubtitusi
memalui aneka macam suplemen. Waktu menunjukkan pukul 7.15 pagi. Seiring dengan
sinar ultraviolet yang memancar ke sudut bumi itulah, sepasang suami istri
memulai sebuah perjalanan. Melintas Madiun Kota Pecel hingga terus mengarah ke
selatan kemudian bertemu dengan Kota Reog Ponorogo.
Hingga
tiba di perbatasan Ponorogo – Trenggalek, Jalan berkelok, melintas sekian
tanjakan dan turunan dengan kondisi jalan yang tak mulus. Beberapa titik
longsor tampak menganga menjadikan perjalanan harus ekstra hati-hati dan
berdoa. Alas Sawoo hingga alas Slahung menjadi medan yang menantang untuk
dilewati. Tak terbayang jika melewati kawasan hutan ini pada malam hari..
Prigi
menjadi tujuan perjalanan kali ini. Pesisir pantai selatan yang bisa ditempuh
kurang lebih 1 hingga 2 jam dari pusat kota Trenggalek. Belakangan Kabupaten
ini yang terkenal lantaran sosok muda yang memimpin daerahnya, dengan istrinya
yang cantik pula.
Waktu
sudah menunjukkan kurang lebih pukul 10.00. Tidak ada salahnya istirahat
sembari sarapan. Menyantap ayam lodho sebagai menu pengganti sarapan sekaligus
makan siang. Brunch, demikian orang luar negeri kerap menyebut istilah
breakfast and lunch, waktu makan diantara sarapan dan makan siang. Sang sopir
dengan senang hati mengarahkan kendaraan memasuki rumah makan yang menyajikan
masakan khas berbahan ayam dengan kuah santan dengan bumbu pedasnya. Lahap
mereka bertiga menyantap masing-masing seporsi ayam lodho lengkap dengan nasi
urap-urap.
Pertigaan
Gemah Harjo seolah menjadi gerbang masuk menuju Prigi. Melintas kawasan bernama
Bandung (bukan Paris –Van Java ala Jawa Barat) dan kembali melewati tanjakan
dan turunan curam. Tiga puluh menit alam menjadikan perjalanan tak ubahnya
tengah menaiki halilintar mini di sebuah taman hiburan. Memacu adrenalin dengan
alam yang memukau. Tiga puluh menit berlalu. Karyo hanya mengandalkan alamat
yang tertulis di selembar kertas.
Tak
ada upaya untuk berkomunikasi dengan rekan kerjanya yang konon sudah berada
disana terlebih dahulu. Entah kenapa? Sungguh menjadi sebuah tanda tanya.Hingga
akhirnya bertanya kepada warga setempat pun menjadi kunci utama menuju rumah
yang konon akan dihuni oleh mereka. Sebuah Gapura bertuliskan Watulima, lidah
Jawa menyebutnya dengan Watu Limo mengarahkan laju kendaraan memasuki sebuah
desa. Jalan menyempit dengan jembatan sederhana. Warga menyebutnya dengan nama
Jembatan Rela. Konon jembatan itu dibangun dengan suka rela oleh masyarakat sekitar.
Selepas
melewati jembatan, jalan tak teraspal. Bunyi kerikil tergilas roda kendaraan
begitu khas terdengar. Lagi-lagi
perkampungan yang tak begitu padat penduduknya. Pekarangan atau kebun
kosong ada di kanan kini hampir setiap rumah. Berjarak. Tak seperti rumah di
kota yang hanya temboknya saling menghimpit. Sejuk, asri dan sepi.
Rumah
besar yang tampak baru menjadi tujuan akhir perjalanan. Persis di halaman rumah
terdapat mini eskavator, tumpukan material berupa pasir dan batu yang menjadi
tanda, bahwa benar adanya rumah tersebut menjadi base camp proyek. Kendaraan telah terparkir sempurna dibawah pohon
kelapa di pojok kanan rumah. Deru mesin dimatikan. Disusul bunyi pintu terbuka
sekaligus ditutup beberapa menit kemudian, menarik perhatian warga.
Tergopoh-gopoh
perempuan setengah baya keluar dari balik pintu. Disusul lelaki yang tampak
lebih berumur yang bertelanjang dada. Entah kenapa mereka langsung menebak.
“Pak
Karyo dan Ibu?! Saya Bu Slamet, ini Pak Slamet, Monggo-monggo..”
Ramah
mereka menyalami dan mengajak masuk tamu yang sudah mereka tunggu. Di ruang
tamu yang sederhana, terhidang Singkong dan Pisang Rebus. Menyusul gelas-gelas
berisi teh panas terhidang.
“Jadi
enaknya saya Panggil Bu Karyo atau siapa ini?” pertanyaan itu tertuju pada
sosok perempuan yang sedari kedatangan tadi tampak diam tertegun.
Ada
hal yang membuat dia gelisah. Bukan karena kondisi rumah pedesaan yang akan
ditempati. Bukan karena lingkungan yang jauh dari sana sini. Melainkan saat
melewari Jembatan Rela dan masuk desa, sinyal di hapenya mendadak raib begitu
saja. Sesuatu yang akan semakin membuatnya jauh dari dunia maya yang belakangan
berubah bak panggung kreatifitas bermedia social. Hiburan sekaligus ruang untuk
mencari peluang penghasilan. Karyo menyenggol lengan istrinya.
Sedikit
gelagapan, perempuan itu memaksakan senyum sedemikian rupa sembari berucap,
“Panggil
saya Purnama saja Bu, itu nama saya”, sembari meminta ijin unruk lekas
membenahi barang-barang yang sudah diturunkan dari mobil bak terbuka.
Sembari
berbenah itulah Bu Slamet bercerita bahwa Watulima sedemikian istimewa. Hingga
untuk melihat siaran Televisi saja mereka harus menggunakan parabola. Demikian
juga untuk mendapatkan sinyal hape, harus berjalan ke beberapa titik di ujung
desa agar sinyal bisa sedikit tersambung.
Purnama
di Watulima. Hari-hari penuh kejutan. Kala penat memandang lautan dari tepi
pantai Prigi menjadi cara menghibur diri. Mengunjungi pasar tradisional yang
buka menurut hari pasaran, dan hanya ada aktfitas jual beli pada hari hari tertentu menjadi cara yang
unik bagi Purnama untuk lebih mengenal masyarakat yang kini menjadi bagian
dalam perjalanan hidupnya. Termasuk menikmati aneka seafood segar dengan harga
terjangkau kala nelayan menepi.
Tiada
kata selain ucap syukur atas sepenggal perjalanan hidup Purnama. Watu Lima,
satu dari sekian perjalanan berharga. Bukan hanya tas ransel dan koper,
melainkan juga segenap jiwanya yang mengembara ditengah rimbunnya makna hidup
berumah tangga. Purnama menemukan dua sisi yang begitu seiring sejalan.
Pertama, dia tetap setia mengabdi pada lelaki yang menjadi suami. Kedua, dia
tetap bisa berpetuangan bersama Sang Alam di tengah masyarakat yang kaya akan tradisi
budaya. Bukankah sejatinya berumah tangga itu tak ubahnya kita sedang
mengarungi bahtera kehidupan dalam biduk yang kerap memberi kejutan?
Salam
Damai Penuh Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar