.
Maghrib menjelang, jalan setapak desa yang pernah mendapat predikat swasembada pada era orde baru itu sepi. Toa langgar telah menggemakan kumandang adzan. Tak terlihat warga berduyun-duyun melaksanakan kewajiban secara berjamaah layaknya bulan puasa. Hanya tetua desa, ustadz yang sehari-hari menjadi guru ngaji serta segelintir remaja yang belum bertekad merantau saja yang memenuhi 2 baris shaf dalam bangunan sederhana yang masih belum tersentuh renovasi itu.
“Tekeeeekkkkk…..tekk eekkkkkkkkk, Tekekkkkkkkkkkk”
Entah kenapa hewan yang kerap menyembunyikan diri dan jarang menampakkan wujudnya itu rutin berbunyi saat sandikala. Peralihan waktu antara sore menuju malam, dimana sebagian orang meyakini bahwa diwaktu itulah para lelembut memuali aktifitasnya.
Di rumah bernuansa joglo dengan halaman yang luas ditumbuhi bunga kantil pada salah satu sudutnya, Nyi Darma Kencana tengah bersiap menyambut tamu agung. Sedari jam lima sore, pesan lewat telepon selulernya itu menyebut bahwa selepas maghrib salah satu kandidat akan sowan untuk meminta restu sekaligus dukungan spiritual darinya.
Tak berselang lama tampak mobil hitam berbadan bongsor memasuki tanah berkerikil yang menimbulkan suara khas saat ada yang melintas diatasnya.. Bunyi mesin dimatikan disusul suara pintu mobil ditutup jelas terdengar dari ruang tamu tempat Nyi Darma Kencana duduk bersila. Uluk salam dari sang tamu hanya dibalas dengan suara lantang lagi berat,
“Masukkkkk”
Sukma Rumpita, perempuan setengah baya dengan paras cantik itu muncul dari balik pintu. Disusul perempuan berwajah lugu menenteng tas plastik warna merah yang berisi kembang tujuh rupa.
Ini kali kedua kandidat Lurah Perempuan Desa Sekar Dadap berkunjung ke orang pinter ternama di kawasan kidul tanah Jawa.Konon dia mampu melakukan kontak batin dengan penunggu pantai selatan.
Wajar jika kemudian aura mistis begitu kentara saat berada di rumahnya. Sebuah lukisan berukuran besar yang sering dikonotasikan sebagai Ratu Kidul dengan baju hijau, rambut panjang teruai bertakhtakan makhkota menempel di salah satu sudut ruang tamu. Harum bunga sedap malam berpadu dengan aroma dupa mengalahkan wangi penyemprot elektrik masa kini yang kerap dipasang di ruangan berAC pada umumnya. Siapapun yang masuk rumah Nyi Darmo, cenderung akan menjadi “kosong” dan menemui “ketenangan” yang kemudian tersugesti untuk bisa mendapatkan apa yang dikehendaki. Tak terkecuali Mbakyu Sukma Rumpita, perempuan yang digadang-gadang menjadi kandidat terkuat lurah Sekar Dadap.
“Sudah siap untuk menerima segala resiko Rum?”
Dengan penuh wibawa, suara itu masuk kerelung hati dan fikiran Sukma Rumpita yang sedari siang rungsing oleh banyaknya permintaan sumbangan acara.
“Nek Wani aja Wedi-wedi, Wek Wedi, aja Wani-wani”
begitu kalimat berikut yang terlontar dari perempuan yang dianggap sakti. Tatapannya tajam melihat ujung rambut hingga ujung kaki tanpa berkedip.
Sementara yang ditanya terlihat memantapkan niat dan hatinya sebelum menjawab dengan kalimat yang terucap.
“Siap Bunda...saya siap apapun resikonya” sedikit perlahan sembari menundukkan kepala Sukma Rumpita akhirnya melontarkan jawaban sekaligus sebagai komitmen berlangsungnya perjanjian spiritual yang harus dilakoni.
“Ngelmu iku kalakone Kanthi Laku” Kembali perempuan “pintar” yang dijuluki Bunda Ratu Kencana itu kembali bersuara. Selanjutnya berdehem dan meninggalkan Sukma Rumpita beserta Assistennya di ruang tamu.
Ada desir aneh yang dirasakan oleh Purnama, Sang Asisten kandidat Lurah itu.
Namun dia enggan untuk bersuara. Mbakyu Sukma sudah sedemikian ngebetnya untuk berkuasa. Padahal tanpa berkuasa secara formal pun, perempuan memiliki banyak ruang dan peran yang tak terbatas. Gejolak batin Purnama ia sembunyikan sembari tangannya memilin tas plastik berisi bunga tujuh rupa yang entah untuk apa.
Dalam hal spiritualitas, Purnama agak kurang sreg dengan langkah yang ditempuh Calon Lurah Perempuan pertama di desanya. Kenapa tidak mendekatkan diri kepada sang maha kuasa sembari memperkuat ibadah wajib, sunah bila perlu puasa, dzikir, dan memperbanyak doa-doa.
Tak lupa berbagi sedekah kepada yang anak yatim piatu dan mereka yang membutuhkan. Ah itu sih kalau aku yang maju menjadi lurah.
Kemunculan Nyi Darma Kencana membawa bungkusan putih membuyarkan dialektika dalam benak Purnama. Perlahan bungkusan panjang yang dibalut kain putih menyerupai mori itu diletakkan dihadapan Mbakyu Sukma. Refleks Purnama beringsut mendekat.
Rasa penasaran ingin tahu benda apa itu membuatnya Kepo tingkat dewa sehingga dia lupa bahwa dia sedang berada di rumah orang sakti.
“Tosan aji ini bernama “randa beser”,
ini yang akan menjadi perantara untuk mewujudkan segala keinginanmu, Bukalah” Nyi Darma memerintah Sukma Rumpita.
Sedikit gemetar tangan Sukma Rumpita menyentuh dan membuka kain mori pemberian perempuan yang dia panggil sebagai Bunda Ratu Kencana.
“Keris”
Nyaris bersamaan Sukam Rumpita dan Purnama menyebut wujud benda itu berdesis.
Tapi kenapa namanya “Randa beser?” Batin Purnama bertanya-tanya
“Sesuai mahar yang telah dan akan dibayarkan nanti, keris ini akan mendampingi sukmamu”
“Semakin kamu berambisi untuk mendapatkan sesuatu, maka mahar yang harus dibayarpun akan menyesuaikan tingkat ambisimu itu” Sorot mata dan intonasi Nyi Darma tampak tajam saat mengucap rentetan kalimat pengantar.
Tiga perempuan dalam sebuah ruang spiritualitas dalam tingkatan yang berbeda. Nyi Darma,
Sukma Rumpita dan Purnama. Ketiganya memiliki tafsir masing-masing terhadap makna spiritualitas. Sebagai pelaku, sebagai pengguna atau istilah kerennya user, dan satu lagi sebagai pengamat sekaligus saksi hidup atas sepenggal proses yang bisa disebut klenik, mistis atau apapun.
Entah kekuatan dari mana datangnya, tiba-tiba Purnama memberanikan diri bertanya kepada Nyi Darma Kencana.
“Maaf Nyai Darma, Eh Bunda Ratu Kencana”
“Terus ini bunga yang saya bawa untuk apa ya?” Sebuah pertanyaan yang menandakan keluguan
Sembari mengulurkan tas plastik berisi bunga tujuh rupa, Purnama seolah menggenapi prosesi malam Sabtu Legi itu.
“Bagus, ternyata kamu orangnya yang akan membantu selama proses pemilihan itu.”
“Besok selepas subuh, kamu harus menaburkan bunga itu di pantai selatan, Ingat sebelum jam 7 pagi semua bunga harus terbawa ombak, jangan ada yang tersisa di tepi pantai”
Bak tersihir mantera sakti, Purnama yang sedari awal mencoba untuk tidak larut dalam pusara spiritual itu luluh seketika”
Terlebih ketika Tangan Mbakyu Sukma menepuk pundaknya, sembari berkata :
“Jadilah senopati selama proses pilihan lurah untuk kemenanganku”
Dan selepas tugas spiritual pertama yang dijalankan oleh Purnama, dia kerap mengalami kejadian aneh. Mulai dari menemukan empat telur di setiap pojok rumah Sukma Rumpita, hingga mendengar suara gemerincing setiap tengah malam datang hingga saat pemilihan Lurah tiba. Ah Sukma Rumpita yang punya ambisi, kenapa Purnama harus turut menanggung misteri?!!!
Sudah bisa dipastikan dari awal, Sukma Rumpita melenggang menang dalam Pemilihan Lurah. Gambar Pari alias Padi paling banyak dicoblos warga desa mengalahkan Ketela dan Jagung. Hingga beberapa bulan pasca kemenangan tersiar kabar, suami Nyi Lurah meninggal mendadak.
Sukma Rumpita pun kini menjadi Randa alias Janda.
Dalam setiap babak kehidupan manusia sesungguhnya ada pengorbanan yang menyertai. Namun kenapa terkadang kita harus memaksakan kehendak dengan resiko membayar berlipat berupa “wadal” alias tumbal?. Bukankah hidup ini hanya sekedar persinggahan sementara untuk menanam kebaikan hingga kelak akan datang saat menuai segala bentuk balasan.
Medio 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar